KEKUDUSAN
“Tinjauan Dogmatis Terhadap Arti dan
Makna Kekudusan Dan Relevansinya Terhadap Pemahaman
Jemaat di
Masa Kini”
I.
I. Latar
Belakang Masalah
Didalam
kehidupan umat Kristen, kata “Kudus” bukanlah merupakan kata yang asing. Bila
kita tanyakan kepada masing-masing umat Kristen, jawabannya pasti akan
berbeda-beda. Ada yang mengatakan bahwa hidup kudus adalah mempersiapkan hati
dan pikiran untuk melayani dan memuji Tuhan, dan juga harus diperlihatkan dalam
kehidupan sehari-hari. Dilain orang mengatakan bahwa hidup kudus adalah hidup
yang jauh dari dosa, dimana perbuatan-perbuatan kita haruslah bukan tindakan
berdosa. Pendapat terakhir mengatakan bahwa hidup kudus adalah hidup tanpa
kecemaran, jauh dari perbuatan-perbuatan berdosa termasuk pelaku-pelakunya,
supaya kita juga tidak terjatuh kedalam keberdosaan, sehingga hidup kita yang
kudus tetap terjaga. Disini yang menjadi masalah, apakah hidup kudus harus
menjauhi orang-orang berdosa? Dan seperti apa sebenarnya hidup kudus?.
Bila kita
melihat pendapat-pendapat yang berbeda diatas, sulit bagi kita akan menerima
pendapat yang mana yang benar menurut ajaran atau teologia Kristen. Sehingga
diperlukan adanya kajian akan hal diatas, sehingga kita dapat mengetahui
kebenaran yang sebenarnya melalui karya
tulis ilmiah ini.
II.
II. Pembahasan
2.1. Arti dan Makna Kudus Menurut Perjanjian
Lama
Kekudusan
dalam istilah Ibrani disebut qadosi yang
artinya terpisah (dikhususkan), terpotong dari, dilepaskan seseorang atau
benda, dan dikhususkan bagi Tuhan supaya Tuhan dapat memakainya.
Kadang-kadang qadosi dan qodesi diartikan dengan suci, kalaupun
perbedaan antara kudus dan suci tidaklah gamblang, karena kudus mengacu kepada
kualitas hakiki Tuhan dan manusia sedangkan suci mengacu kepada setiap yang
menjurus kepada kekudusan.
Pengertian
kudus yang berarti dipisahkan mencakup dua hal yakni, dipisahkan dari hal-hal
duniawi yang bertentangan dengan kehendak Allah, dan dikhususkan menjadi milik
sang pembebas yaitu Allah (Im. 20:29).
Kudus (qados), sejak semula diarahkan
untuk bidang keagamaan, misalnya: sebidang tanah, sebuah bangunan, peralatan
dalam tempat ibadah, bahkan seekor kuda juga dapat dianggap kudus sejauh itu
semua dikhususkan untuk maksud keagamaan dan peribadatan. Namun
perasaan mengenai kuasa mengagumkan yang terdapat dalam benda-benda kudus ini
tidak boleh disamakan dengan nilai-nilai moral dan etis. Kudus atau kekudusan
merupakan suatu sifat orang atau sesuatu yang sepenuhnya sesuai dengan tujuan
atau maksut keberadaannya yang bulat dan utuh. Sebenarnya hanya Allah yang
kudus, Ia adalah misteri yang menggetarkan dan menakjubkan. Ia sama sekali
berbeda dengan manusia karena maha kudus (Yes 6:3,5) sekaligus merupakan sumber
kesempurnaan rohani dan moral. Dalam perjanjian Lama yang termasuk ke dalam
hukum kesucian (Imamat 17-26) sehingga ini menjadi pegangan sekaligus menjadi
ajakan bagi orang-orang Israel untuk menjadi Kudus, karena Allah mereka adalah
Allah yang kudus (Im 19:2, 20:26). Selain benda, tempat upacara, kitab suci,
hukum dan perjanjian juga dapat disebut kudus sejauh dikuduskan dan disucikan
bagi Allah.
Tempat
ibadah dikuduskan karena dianggap suci dan keramat. Alat-alat disana juga
disebut kudus, misalnya: piring, mangkuk, bejana, meja, dan itu semua dianggap
kudus dalam Perjanjian Lama karena itu berhubungan dengan ritual menyembah
Tuhan. Bagi bangsa Mesopotamia kata kudus dipakai untuk julukan dewa (allah
kesuburan) dan itu sangat penting dalam kehidupan Mesopotamia.
Bagian tubuh juga disebut kudus, yakni: tangan yang kudus, hati yang kudus.
Bagian tubuh Allah dianggap kudus karena berbeda dan tubuh makhluk hidup dan
memiliki rasa kehormatan. Imam juga disebut kudus karena ia mengambil bagian
dalam bidang ke-Tuhanan. Imam juga disebut kudus karena mereka bernyanyi dengan
keramat, suci dan kudus, ditempat yang kudus.
Penjelasan
lain mengatakan bahwa akar kata קדש qados kemungkinan
tidak berasal dari Ibrani tetapi dari tradisi Kanaan yang kemudian diambil alih
oleh agama-agama sekitar. Sedangkan dalam bahasa Ibrani asli, kata yang dekat
dengan kudus yaitu kata חרם (haram) artinya
“dari apa yang dilarang”.
Ada
beberapa istilah Kekudusan Dalam Perjanjian Lama, yakni:
a).
Kudus atau kekudusan dalam bentuk kata sifat yaitu קָדַשּ atau קֹדֶש
Artinya
suatu peralihan kepada fakta-fakta keagungan atau kekudusan. Kudus mengandung
arti tentang lingkaran suci/keramat, terang dan terpisah dari hal yang kotor. Qodes merupakan suatu kualitas yang
digunakan untuk Tuhan atau memuji Tuhan, contoh: hari yang kudus yaitu sabat
(Yes. 53:13), kata ini terdapat 469 kali dalam PL. Qados menyangkut tentang pribadi yang kudus, pikiran, tempat, atau
waktu yang diabdikan untuk Tuhan dan terdapat sebanyak 127 kali dalam PL. Qados ini juga mengacu kepada pribadi
Tuhan (Kel. 15:11) baik roh-Nya, nama-Nya, perbuatan-Nya (Yes. 52:10),
jalan-Nya (Mzm. 77:1), juga mengacu kepada manusia, imam (Im. 21:6), objek
persembahan (Kel. 29:33) dan persembahan (Kel. 28:38).
Seperti,
Gelar hanya Israel yang kudus, ini menggambarkan supremasi Allah yang melebihi
kesetiaan dan juga kesempurnaan moral (Yes. 30:12). Hanya “Israel yang kudus”
ini merupakan kepercayaan masyarakat terhadap perjuangan Israel ketika Allah
memberikan peradilan dalam peperangan umatNya karena hanya Allah yang kudus.
Orang yang penuh dosa, kesalahan, memandang rendah terhadap Israel yang kudus
(Yes. 1:4, 30:5), oleh karena itu Dia menegur ciptaanNya Israel yang kudus itu
dan menebus Israel keluar dari tanah perbudakan.
b). Kudus atau kekudusan dalam
bentuk kata kerja yaitu קִדַּש (menguduskan)
Dalam
hal ini Allah yang menjadi subjeknya dan terdapat sebanyak 12 kali dalam PL
dimana Allah menunjukkan kekudusan diri-Nya di dalam Israel dan dalam dunia
orang kafir (diluar Israel). Allah menunjukkan kekudusan-Nya sebagai hakim (Im.
10:3; Bil. 20:13) dan memperlihatkan janji-Nya (Yes.5:6), serta memindahkan
status umat dengan membersihkan mereka dari hal-hal yang kotor. Allah membuat
mereka berkembang ke seluruh dunia, dan Dia akan menunjukkan diri-Nya kepada
mereka, kepada semua suku bangsa bahwa hanya Dia yang kudus, sehingga
bangsa-bangsa akan mengetahui bahwa Dia adalah Allah.
Bangsa-bangsa
akan mengetahui Tuhan itu adalah Allah yang kudus. Untuk membawa perseorangan
kepada tempat yang kudus, subjeknya mungkin Allah atau manusia. Allah Israel
adalah kudus (Kel. 31:13), Ia memulihkan Israel menjadi kudus (Ezek. 20:12 ),
mengkuduskan namaNya yang sudah kotor di tengah bangsa-bangsa (Ezek. 36:23).
Dalam Kej. 2:3 dikatakan bahwa sabat adalah kudus, Musa (Kel. 19:10), Jos.
7:13, Ay. 1:5, dan 1 Sam. 16:5, menguduskan suatu bangsa atau individu. Salomo
juga menguduskan pertengahan pelataran yang di depan rumah Tuhan (1 Rj. 8:64).
Harun dan
anak-anaknya diminta dalam proses menguduskan, yang mana mereka membawakan
pakaian yang kudus, memberi perminyakan yang kudus, menobatkan dan memakan
persembahan (Kel. 28:3, 41, 29:1, 33, 30:30). Manusia juga bisa menjadi subjek
dalam proses menguduskan diri yang disebut dengan istilah hitqaddesy (הִתקּש) yang artinya
menguduskan diri (Kel. 19:22), terdapat24 x dalam PL, Ini memasuki kepada suatu
tempat kudus yang sudah melewati kesalehan. Perlindungan seseorang terhadap
dirinya, ketika dia sudah mengeluarkan hidupnya dari komunitas yang tidak
bersih atau ketika dia datang untuk bersekutu dengan Allah. Betseba
membersihkan dirinya dari yang tidak bersih sebelum Daud tidur dengannya (2
Sam. 11:4). Imam sudah melindungi diri mereka ketika mereka mendekati Allah
untuk melekukan tugas peribadatan (Kel. 19:22, 1 Kro. 15:12).
Kata kerja kudus
ini merupakan pengabdian, bukan dengan implikasi ibadah sementara, tapi
memindahkan kepada posisi kesalehan, yang mana pengabdian seseorang bukan untuk
yang bersifat exklusive. Fokus dari proses pengabdian ini merupakan perbuatan
untuk menghormati kekudusan Allah (Bil 20:12) yang dipisahkan untuk maksud
keTuhanan.
2.2. Arti dan
Makna Kekudusan Menurut Perjanjian Baru
Dalam
pengertian yang sama dengan Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani (hagios) diartikan dengan memisahkan dan
menjadikan milik Allah. Istilah ini juga menyatakan bahwa Allah adalah satu-satunya
yang kudus (Hos. 11:9, Yoh. 17:11). Namanya harus dikuduskan dalam arti Allah
itu harus diakui sebagai Allah semua manusia (Yes. 6:3; Mat. 6:9). Selain itu
istilah hagios ini adalah juga
menunjukkan sikap kesetiaan manusia terhadap Allah atau keserasian dunia
ciptaan dengan hukum ilahi.
Ada
beberapa Istilah kudus dalam Perjanjian Baru, yakni:
a. άγίός yang artinya
kudus, yang ditahbiskan (kemah suci), bait suci, ruang suci atau ruang maha
suci.άγίός
mempunyai konsep yang sama dengan qados, dan merupakan konsep kultus .Hal ini
diindikasikan dengan kesucian / kesetiaan dan kekuatan untuk pendekatan kepada
Ilahi. Hagios tidak digunakan untuk relasi manusia dalam hubungan kultus, tapi
sejumlah besar peristiwa hagios digunakan pada pribadi dan sangat penting dalam
hubungan dengan Tuhan (Yoh. 17:11, 1 Pet. 1:15). Hagios mempunyai dasar pemikiran yang
sama mengenai keterpisahan dan kesucian terhadap Allah. Kata maha kudus dalam
Kis. 2:27 dan kata kudus dalam Why. 15:4 adalah terjemahan dari kata Yunani
hagios (di tempat lain diterjemahkan suci / saleh), yaitu hubungan yang benar
dengan Allah, mungkin juga dalam pengertian kekasih.
b.
άγίαςω yang artinya menguduskan, mengasingkan, septuaginta menterjemahkan
dengan upacara pendamaian / penebusan (Kel. 29:33, 36). Pengudusan dapat
dicapai dengan praktek kultus (Kel. 19:20, Ul. 5:12), dengan satu subjek dan
objek Ilahi. Hal ini juga dapat dianggap menyangkut penyataan (Kej. 2:3, Kel
19:23). Subjeknya
adalah pribadi, apakah Allah, hakim, bangsa atau umat, tapim Allah jarang
sebagai objek. Objek tersebut kebanyakan Imam, bangsa, tempat kudus serta
bejana yang kudus. Melalui pengudusan mereka dipisahkan dari sifat duniawi dan
najis.
c. άγίασνος yang artinya
pengudusan (menguduskan). Menguduskan disini lebih baik dari peristiwa
pengudusan, karena tindakan menguduskan hanya dapat dilakukan oleh seorang yang
kudus. Tindakan menguduskan diri itu selalu dikerjakan atas dasar status
pengudusan yang dicapai dalam pendamaian (band Why. 22:11).
d. άγίοσυνη yaitu suatu
keadaan kudus, sifat pengudusan / kekudusan yang lebih dari pada tindakan
menguduskan dan merupakan suatu kualitas yang lebih dari pada suatu status.
Dalam Perjanjian Baru hanya Paulus yang memakai kata tersebut (Im. 1:4, 14, 2
Kor. 7:11, 1 Tes. 3:13).
e. άγίοτης artinya sifat
yang kudus, pengudusan, hanya terdapat dalam Ibr. 12:10.
f.
άγίοί artinya sifat yang kudus. Kata ini
juga dipakai sebagai petunjuk rasuli bagi orang-orang kudus. Arti utamanya
adalah hubungan dengan pribadi, menggambarkan sifat, terutama sifat seperti
Kristus. Dimana-mana dalam PB ditekankan arti kekudusan secara etis,
bertentangan dengan hal-hal yang kotor. Kekudusan juga merupakan panggilan
tertinggi bagi orang Kristen dan tujuan dari pada hidupnya.
2.3. Kekudusan
Allah
Kudus
menggambarkan transendensi Allah. Yahweh, kerena kekudusan-Nya berdiri
bertentangan dengan ilah-ilah (Kel. 15:11) demikian juga dengan seluruh ciptaan
(Yes. 40:25). Istilah kekudusan juga menunjuk kepada hubungan, dan mengandung
arti ketentuan Allah untuk memelihara kedudukan-Nya sendiri terhadap
makhluk-mahkluk bebas lainnya. Itu adalah pengesahan Allah sendiri, ‘sifat
dalam nama Yahweh menjadikan diri-Nya sendiri ukuran mutlak bagi diri-Nya
sendiri’.
Sifat Allah yang paling khas dalam PL adalah kekudusan-Nya. Walaupun
bangsa-bangsa, benda-benda, dan tempat-tempat disebut kudus, tetapi ini
hanyalah dalam arti “dikhususkan bagi Allah”; sebenarnya hanya Allahlah yang
kudus. Kekudusan itu berarti bahwa Dia betul-betul murni dalam sikap dan
pikiran.
Ketika
makna kudus ini dikaitkan dengan “pemisahan”, maka bila konsep ini dipakai
tentang Allah sendiri, ada dua hal dampaknya: Pertama, Allah terlepas dari oknum-oknum lain; hanyalah Dialah
Allah. Dalam pengertian ini, kekudusan Allah mirip dengan kemuliaan-Nya. Hal
ini diungkapkan dalam penglihatan Yesaya: “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan semesta
alam, seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya” (Yes. 6:3). Kedua, yang dimaksud dengan kekudusan Allah dalam pengertian etis
adalah pemisahan diri-Nya dari segala sesuatu yang menentang dan melawan Dia.
Inilah dasar semua perbedaan moral. Yang baik adalah yang dikehendaki Allah;
yang jahat adalah yang menentang dan melawan kehendak-Nya. Allah
yang kudus senang kepada kabaikan dan kebenaran serta membenci yang segala yang
jahat. Benda-benda dan tempat dikatakan kudus bukan karena tempat tersebut
menakutkan tetapi karena Allah sendiri hadir dalam tempat terebut dan kehadiran
Allah berhubungan dengan tempat tersebut.
2.4. Kekudusan
Allah Dalam Hubungan Dengan Umat-Nya (Manusia)
Kekudusan Allah sangat berhubungan
dengan umat yang dipilihNya. Pemilihan/ perjanjian adalah ungkapan unik tentang
kekudusan Allah. Karena Allah kudus maka Allah juga menuntut umat-Nya untuk
hidup kudus (Im. 11:44).Allah menunjukkan kekudusanNya dalam tindakan-tindakanNya
demi keselamatan umat yang sudah dipilihNya (Bil. 20:13). Dengan alasan ini
maka Allah disebut sebagai yang kudus Israel, karena Israel dikuduskan bagi
Allah. Allah yang kudus bagi Israel terdapat 30 x dalam kitab Yesaya, Maz.
71:22, Yer. 50:29, dsb. Allah yang kudus merupakan pernyataan dalam sejarah
Israel untuk menebus perbuatan-perbuatan dari AnugrahNya dan menembus kekerasan
pengadilanNya.
Dalam Amos 4:2 di sana dikatakan “Tuhan
Allah bersumpah demi kekudusan-Nya” itu berarti Allah mengangkat sumpah yang
paling berat yakni bersumpah demi hakekat-Nya sendiri. Kata benda dari kudus juga mengacu
kepada Roh Allah dan RohNya juga mengacu kepada umatNya selama keluaran. Allah
membentuk Israel melalui duka cita mereka ketika mereka memberontak Allah yang
kudus, yang datang dengan segala kesempurnaan dan melebihi dari segalanya.
Kekudusan bukan melekat pada ciptaan, tapi datang dari inisiatif Allah sendiri.
Waktu dunia dikuduskan dalam pengertian terang dipisahkan dari gelap. Allah
yang kudus terbebas dari moral yang tidak sempurna dan kelemahan manusia. Allah
yang kudus pada hakekatnya memanggil umat-Nya juga untuk menjadi kudus. Allah
tidak hanya melambangkan ketuhanan, tapi Allah itu terbebas dari dosa.
Para nabi memproklamirkan kekudusan
sebagai penyataan sendiri oleh Allah, kesaksian yang Ia terapkan pada diri-Nya
sendiri dan segi yang Ia kehendaki supaya makhluk ciptaan-Nya mengenal Dia
demikian. Para nabi menyatakan bahwa Allah menghendaki untuk mengkomunikasikan
kekudusan-Nya kepada makhluk ciptaan-Nya dan sebaliknya Ia menuntut kesucian
dari mereka. Seperti bangsa Israel, dengan hubungannya dengan Allah, menjadikan
Israel satu bangsa yang kudus, dan dalam pengertian ini mengacu kepada
pengungkapan tertinggi hubungan perjanjian Israel dengan Allah. Dengan
pengungkapan kekudusan yang diberikan Allah, menyatakan supaya mereka dapat
menjadi orang yang mengambil bagian dalam kekudusan-Nya. Demikianlah kekudusan Allah menunjukkan
kelainan Allah daripada manusia. Akan tetapi pengertian kudus ini tidak pernah
dipisahkan daripada hubungan Allah dengan umat-Nya. Justru di dalam hubungan
Allah dengan umat-Nya itulah Allah tampak sebagai Yang Kudus, yang tidak dapat
bersekutu dengan dosa.
Tentu saja keyakinan bahwa Allah adalah
kudus merupakan unsur penting. Yesus pernah menyebut Allah sebagai Bapa yang
kudus (Yoh. 17:11). Pada waktu Yesus dihadapkan dengan siksaan dan
penderitaan-Nya, Yesus sangan menyadari kemutlakan kekudusan Bapa-Nya yang
telah mengutus-Nya. Sehinggan melalui kekudusan Allah ini, Allah mengutus
umat-Nya untuk dapat menjadi umat-Nya kudus di dunia yang penuh dengan
kecemaran ini.
Allah bertentangan dengan dosa, namun Ia juga mengasihi manusia berdosa.
Kekudusan Allah juga mengasihi umat manusia sekalipun manusia itu adalah berdosa.
Melalui pengudusannya, Allah juga mengutus kepada manusia yang berdosa lainnya.
2.4.1. Kekudusan Allah dan Bangsa Israel
Allah
yang kudus memilih bangsa Israel sehingga Ia mengkhususkan bangsa tersebut dari
yang lain. Bukan karena bangsa lain kurang kudus, atau tidak kudus, melainkan
agar Israel mengembangkan, menjaga dan menampilkan kekudusan-Nya secara khusus.
Israel sendiri dengan demikian juga terus-menerus dikuduskan dalam hubungan
istimewa tersebut.
Dalam kitab Yesaya, Allah sering disebutkan “Yang Mahakudus, Allah Israel”
(5:19; 30:12; 43:3; 55:5) yang menghendaki agar Israel mengubah sikapnya dan
mengikuti tabiat Allah yang diam di tengah-tengah mereka (12:6).
Tidak mengherankan juga kalau kitab Imamat mempunyai tema, “Sebagai umat
perjanjian, Israel harus hidup sebagai bangsa yang kudus, karena Allah adalah
kudus”.
Karena itu, umat Israel menjadi kudus dan mengambil bagian dalam kekudusan
Allah. Dan itulah yang harus diwujudkan dalam hidup sehari-hari. Kekudusan
Allah harus tercermin dalam tata hidup umat-Nya, baik dalam kehidupan para
imam, pemimpin umat, maupun dalam kehidupan umat pada umumnya.
2.4.2. Kekudusan “Dipisahkan Untuk Allah”
Dipisahkan
untuk Allah mensyaratkan adanya pemisahan diri dari kecemaran. Pada umumnya,
dipisahkan untuk Allah mengandung gagasan positif dipersembahkan atau
dikhususkan untuk Allah. Dengan pengertian semacam ini, kemah sembahyang dan
bait suci dikuduskan dengan semua perabotan yang ada didalamnya (Kel. 40:10, 11:
Bil. 7:1; II Taw. 7:16). Seseorang dapat menyucikan rumahnya atau sebagian dari
ladangnya (Im. 27:14-16). Allah menguduskan semua anak sulung bangsa Israel untuk diri-Nya sendiri (Kel.
13:2; Bil. 3:13). Bapa menguduskan Anak (Yoh. 10:36) dan Anak menguduskan diri-Nya sendiri (Yoh. 17:19).
Orang-orang Kristen dikuduskan ketika mereka bertobat (1 Kor. 1:2; 1 Petrus
1:2; Ibr. 10:14). Yeremia dikuduskan sebelum ia lahir (Yer. 1:5), dan Paulus
berbicara soal dirinya yang sudah dipisahkan untuk Allah ketika masih dalam
kandungan ibunya (Gal. 1:15).
Kekudusan
Allah menuntut kekudusan umat-Nya, artinya: umat Allah, yang adalah sekutu
Allah, juga harus hidup terpisah daripada segala dosa, dan mempersembahkan
seluruh hidupnya bagi Allah (Im. 19:2; 1 Ptr. 1:16). Tanpa hidup yang kudus,
tidak mungkin ada persekutuan dengan Allah yang kudus.
2.4.3. Kekudusan “Dikhususkan Untuk Allah”
Dikhususkan
untuk Allah dapat dipahami dengan umat Israel, yang telah dibebaskan dari
perbudakan di Mesir, dikhususkan menjadi milik Sang Pembebas, yaitu Allah (Im.
20:29). Mereka harus hidup sesuai dengan kebiasaan baru yang terikat pada
kehendak Allah yang kudus itu (Im. 19:2). Sanksi dari Allah adalah antara
“patuh” dan “tidak patuh”. Patuh berarti memperoleh berkat, damai sejahtera,
dan kemakmuran (Im. 26:1-13). Tidak patuh berakibat fatal, malapetaka, penyakit
(Im. 26:14-15).
2.4.4. Hukum Kekudusan
Imamat
17-26, bisa dikatakan sebagai Hukum Kekudusan. Bagian ini merupakan kumpulan
prinsip-prinsip hidup untuk umat Allah yang dipanggil menjadi kudus.
Peraturan dan hukum yang tercantum didalamnya menyangkut seluruh umat. Melalui
ini Allah menetapkan diri-Nya menjadi Allah Israel dan mengangkat Israel
menjadi umat-Nya. Israel yang sudah diangkat menjadi umat Allah dan kini Allah
menunjukkan kepada mereka tata hidup sebagai umat Allah. Bila tata hidup ini
dijalankan, mereka dapat hidup sebagai umat Allah dengan sungguh-sungguh.
Untuk dapat dikatakan “kudus”, maka karakter dan perilaku manusia (khususnya
karakter dan perilaku Israel dalam konteks ini) harus mencerminkan karakter dan
perilaku Allah sendiri. Dia adalah standar kekudusan yang berlaku bagi semua,
pada saat bersamaa Dia menjadi penyebab dan pendorong manusia untuk mengejar
kekudusan. Allah kudus karena Dia unik dan tak ada bandingannya. Orang-orang
harus memahami kekudusan mereka semata-mata bukan sebagai raja dari
“kerohanian”, melainkan karena keunikan dan kekhususan mereka sebagai orang
pilihan yang dipanggil oleh Allah. Tetapi, kekudusan juga harus terwujud dalam
kehidupan dengan mengikuti prinsip-prinsip etika serta praktiknya yang
memperlihatkan kesalehan.
Panggilan
untuk hidup kudus menyangkut atau mensyaratkan peraturan-peraturan tentang
kekudusan darah (Im. 17); larangan kawin dengan orang yang memiliki hubungan
darah (18:1-18) dan penyimpangan-penyimpangan seks lainnya (18:19-23),
melakukan Sepuluh Perintah (19:1-18) dan hukum-hukum yang berkaitan
(19:19-20:27); dan kepatutan perilaku para imam dalam kehidupan pribadi maupun
ditengah masyarakat (Im. 21-22). Bangsa Israel, sebagai bangsa yang kudus, juga
harus memahami bahwa kekudusan menuntut ketaatan ketat kepada hari-hari raya
dan waktu-waktu yang telah ditetapkan untuk menghadap Tuhan. Ini termasuk hari
Sabat (Im. 23:3), Hari Raya Paskah dan Hari Raya Roti Tak Beragi (23:4-8), Hari
Raya Buah Sulung/ Bungaran (23:9-14), Hari Raya Tujuh Minggu (23:15-22), Hari
Raya Serunai (23:23-44), Tahun Sabat (25:1-7), dan Tahun Yobel (25:8-55). Tujuan
dari peristiwa-peristiwa ini banyak, tetapi dalam kerangka kerja kekudusan hal
tersebut untuk mengingatkan umat Allah bahwa bukan hanya orang, tempat atau
perbuatan yang dianggap kudus, melainkan waktu juga. Melalui waktu ini, bangsa
Israel merenungkan arti kehidupan dan tugas kudus sesuai dengan panggilan
mereka; Dialah yang memanggil umat-Nya sekali lagi untuk menjadi hamba-Nya di
bumi.
2.4.5. Kekudusan dan Umat Kristen
Semua
orang Kristen harus menyakini bahwa sesungguhnya semua orang beriman, tanpa
kecuali dipanggil untuk hidup kudus kepada kesempurnaan kasih. Panggilan untuk
hidup kudus berlaku bagi semua orang percaya yang didasarkan pada karya
pengorbanan Kristus. Orang
Kristen adalah orang-orang yang telah dipanggil Allah untuk hidup kudus.
Semuanya tanpa kecuali, tanpa pembedaan antara kelompok, golongan atau hal-hal
tertentu. Panggilan-Nya kepada kita itu adalah inisiatif-Nya, sehingga bukan
karena perbuatan kita, bukan karena mematuhi hukum-hukum (Taurat) secara
harafiah. Bahkan Yesus mengecam pandangan Yahudi yang mengatakan bahwa
kepatuhan kepada hukum Taurat merupakan dasar kekudusan (Yoh.3:16; Rom.
5:18-19; 8:18-23; Ef. 1:3-6,9,10; 1 Tim. 3:1-13; Tit. 1:15-16; 1 Pet. 1:15-16).
Setiap
orang Kristen telah dipanggil sekaligus bertanggung-jawab untuk hidup kudus,
hidup menurut Firman, menjadikan Firman itu hidup dalam kehidupannya
sehari-hari. Namun kekudusan itu jangan dianggap sebagai jaminan memperoleh
hidup kekal dan terlebih membawa kesombongan rohani. Tetapi orang Kristen
bertanggung-jawab melaksanakan hidup kudus sebagai respon atas panggilan
keselamatan dan kasih Tuhan yang telah kita terima dalam hidup kita. Hidup
kudus berarti menjadi teladan Allah yaitu mencermin kekudusan-Nya.
Kekudusan
umat Allah bukan hanya sekedar hubungan antara umat dan Allah-Nya tetapi
hubungan antara manusia dengan manusia yang lain juga harus dijaga
kekudusannya, seperti menghormati orang tua dan juga menjaga kekudusan dalam
perkawinan dan seksualitas. Tubuh kita
yang telah dipenuhi oleh hadirat Allah untuk memberi contoh kepada kita
secara rohani, bahwa kita tidak boleh memberikan kecemaran dan kenajisan
berdiam di dalam tubuh kita. Alkitab dengan jelas dan sederhana mengajarakan
bahwa tubuh kita adalah Bait Allah (1 Kor. 3:16) yang di dalamnya Tuhan Yesus
berdiam.
Ada
beberapa alasan yang sederhana untuk orang Kristen hidup di dalam kekudusan, yakni:
1. Karena
kita dipanggil untuk menjadi kudus
Dalam
1 Tes. 4:7 dikatakan Allah memanggil kita bukan untuk melakukan apa yang cemar,
melainkan apa yang kudus. Manusia bukan hanya dipanggil tetapi juga dipilih,
dikhususkan, disucikan, dan dipisahkan untuk menjadi suatu umat yang kudus bagi
Allah (Kel. 19:6, Im. 20:26, 1 Pet. 2:9).
2. Kita
adalah Bait Allah
Bait
Allah merupakan suatu tempat yang kudus dan hadirat Allah akan hadir di
dalamnya, untuk itulah seharusnya kita memelihara tubuh kita yang merupakan
bait Allah yang hidup, agar selalu suci dan bersih dari segala kenajisan dan
kecemaran.
3. Kita
adalah anak-anakNya
Dalam
Mat. 5:48 dikatakan “karena itu haruslah kamu sempurna”. Alkitab mengatakan
sebagai Anak Allah, kita duduk bersama-sama dengan Tuhan Yesus di surge,
disebelah kanan Allah (Mrk. 16:19). Kekudusan menunjukkan kita sebagai Anak
Allah.
4. Kita
adalah anggota-anggota tubuh-Nya
Dalam
1 Kor. 12:27 “kamu semua adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah
anggota-Nya” untuk itu sebagai anggota tubuh Kristus kita harus hidup sesuai
dengan kehendak Kristus. Dalam 1 Tes. 4:7 dikatakan Allah memanggil kita bukan
untuk melakukan yang cemar, melainkan apa yang kudus. Manusia bukan hanya
dipanggil tetapi juga dipilih, dikhususkan, disucikan, dan dipisahkan untuk
menjadi suatu umat yang kudus bagi Allah (Kel. 19:6, Im. 20:26, 1 Pet. 2:9).
2.5. Kekudusan Dalam Sejarah Gereja
Pada
abad kedua, dimana gereja semakin berkembang, muncul permasalahan-permasalahan
yang dipandang oleh beberapa golongan dimana merosotnya jemaat dibeberapa sisi
terkhusus pada kehidupan. Munculnya golongan Montanisme yang hendak
mengembalikan kemurnian asli dari jemaat Tuhan dengan menyucikan tiap-tiap
orang, yang hidupnya tidak suci dan saleh. Karena gereja berkembang pesat, sehingga
mulai kurang dalam hal penekanan hidup kudus. Golongan Montanisme ini,
menginginkan bahwa gereja sebagai persekutuan orang kudus harus jauh dari
perbuatan-perbuatan yang tidak kudus, seperti percabulan, pembunuhan dan murtad
sehingga orang-orang yang melakukan itu harus disingkirkan dari gereja. Namun
pada tahun 217 oleh Uskup Roma Calixtus, memaklumkan bahwa dosa besar dapat
diampuni, tetapi pelaku tetap dikenakan hukuman berat. Calixtus memahami bahwa
gereja bukanlah jemaat yang kudus, melainkan suatu ladang dimana gandum dan
lalang tumbuh bersama-sama, atau suatu bahtera Nuh, yang memuat binatang halal
dan haram. Dengan demikian maka pintu gereja terbuka luas menyambut banyak
orang yang lemah dan berdosa, supaya jangan binasa, melainkan selamat. Menurut
Calixtus juga: gereja tidak hanya merupakan persekutuan orang-orang kudus,
tetapi juga tempat latihan untuk orang-orang berdosa supaya mereka belajar
jatuh bangun agar menjadi semakin kudus. Untuk itu sebaiknya mereka dibina oleh
gereja melalui suatu system penyesalan yang teratur.
Mulai
pada masa Kaisar Konstantinus Agung (313), dimana agama Kristen dijadikan agama
sah dan pada masa Kaisar Theodosius Agung (380) menjadikan agama Kristen adalah
agama negara, kaum Donatisme mengecam gereja yang kurang memperhatikan
kekudusan hidup dan kesungguhan iman. Banyak orang menjadi Kristen bukan karena
iman melainkan karena pertimbangan politik, sosial dan ekonomi. Menjadi Kristen
adalah jalan kehormatan dan kesejahteraan. Menurut kaum Donatis, gereja tidak
lagi menjaga kekudusan hidup para pejabat dan anggota gereja sebagai syarat
menjamin kebenaran gereja. Hanya imam yang hidup kudus dan tidak pernah goyah
sedikitpun yang layak melayankan sakramen-sakramen yang sah. Donatis mempunyai
dasar yaitu Efesus 5:27, bahwa gereja hanya dapat dikatakan suci kalau
kesuciannya nyata dalam kehidupan pejabat gereja dan anggotanya. Uskup Mileve,
yakni Optaus (365) menjawab kritik Donatis, sakramen-sakramen tergantung pada
Allah bukan tangan-tangan pejabat gereja. Dan kesucian gereja tidak tergantung
pada kesucian jemaat melainkan dari Allah yang mengaruniakan karunia-karunia
kudus kepada gereja.
Uskup
Hippo Regius yakni Augustinus (395) menyatakan bahwa gereja sebagai tubuh
Kristus tidak terbagi dan satu. Gereja terdiri dari orang-orang yang baik dan
berdosa, dan mustahil memisahkannya didalam gereja. Augustinus mengakui bahwa
hanya orang-orang baik merupakan anggota tubuh Kristus, gereja dalam arti benar
namun orang percaya tidak boleh merampas hak Allah, yang menghakimi orang
diakhir zaman. Memang perlu displin,
tetapi displin itu bukan berarti “pedang musuh yang melukai, melainkan
pisau tabib yang mau menyembuhkan tubuh”. Menurutnya juga bahwa kekudusan
gereja tidak boleh dicari dalam tabiat atau kelakuan kaum pejabat atau
anggota-anggotanya. Gereja dinamai kudus, sebab persekutuannya dibentuk oleh
orang yang dikaruniai Tuhan dengan hadiah-hadiah yang kudus, yaitu firman-Nya
dan sakramen. Gereja hanya dapat mengenapi panggilannya terhadap seluruh dunia,
jikalau ia hendak mencari orang yang lemah dan sesat, supaya mereka sekalian
boleh mendengar pekabarannya dan bertobat.
Pada
abad pertengahan (590-1517), perhatian teologis bahwa gereja sebagai
persekutuan orang percaya dikesampingkan. Paus sebagai pimpinan tertinggi
gereja pada masa itu mempunyai kekuasaan baik kehidupan kerohanian dan politik.
Dibawah Boniface VIII (1294-1303) kepausan mengalami kemerosotan kerohanian.
Dalam kepemimpinannya Boniface memaksakan teori: hanya Pauslah satu-satunya
yang disebut paling kudus, penguasa ilahi dan kaisar tertinggi dan raja diatas
segala raja-raja. Bahkan teologi yang dikembangkan Paus bukan hanya wakil
Petrus tetapi Wakil Kristus untuk menguduskan jemaatnya. Patokan kekudusan
jemaat dan pejabat gereja sangat ditentukan oleh kesetiaan dan ketaatan kepada
Paus.
Selanjutnya
pada masa reformasi, Luther melihat bahwa fungsi gereja tidak lagi lembaga yang
mengantar keselamatan bagi anggota-anggotanya, melainkan persekutuan
orang-orang yang dikumpulkan Kristus, yang saling diikat oleh ikatan Roh Kudus,
yang berdasar pada Kristus dan yang hidup dari Firman Allah. Yang menentukan
kesucian gereja bukan pejabat gereja atau orang-orang yang menjadi anggota-anggotanya
melainkan firman dan iman.
2.6. Kekudusan Menurut Gereja Katolik
Kudus
atau suci menyangkut seluruh bidang sacral atau keagamaan. Yang suci/ kudus
bukan hanya tempat, waktu, barang yang dikhususkan bagi Tuhan, atau orang.
Malahan yang sebenarnya harus dikatakan bahwa “yang kudus” adalah Tuhan sendiri
(lih. Mis. 2 Raj. 19:22; Yes. 1:4; 5:19; 10:17; Yeh. 38:23. Dst.). Semua yang
lain, barang maupun orang, disebut “kudus” karena termasuk lingkup kehidupan
Tuhan (lih. Mis. Kel. 19:23; 2 Taw. 3:8, Yeh. 44:19).
“Kudus”
bukan pertama-tama ketegori moral yang menyangkut kelakuan manusia, melainkan
kategori teologal (ilahi), yang menentukan hubungan dengan Allah. Ini tidak
berarti bahwa kelakuan moral tidak penting. Apa yang dikhususkan bagi Tuhan,
harus “sempurna” (kata Ibrani tamim sebetulnya
berarti “utuh”; lih. Kel. 12:5; Im. 1:3; 3:5; Rm. 16:19.22; 12:1; dst.), dan
kesempurnaan manusia tentu terdapat dalam taraf moral kehidupannya. Maka tidak
mengherankan Tuhan bersabda, “Hendaklah kamu kudus sebab kuduslah Aku, Yahwe, Allahmu” (Im. 19:2; 11:44.45; 20:7.26:
21:8). Yesus berkata, “Hendaklah kamu sempurna sebagaimana Bapamu di surga sempurna adanya” (Mat. 5:48). Ini tentu
merupakan tuntutan yang mengatasi kemampuan manusia.
Perjanjian
Baru melihat proses pengudusan manusia sebagai “pengudusan oleh Roh” (1 Ptr.
1:2; lih. 2 Tes. 2:13), “dikuduskan karena terpanggil” (Rm. 1:7). Secara simbolis dikatakan: “kamu telah
memperoleh urapan dari yang kudus” (1 Yoh. 2:20), yakni dari Roh Allah sendiri
(bdk. Kis. 10:38). Dari pihak manusia kekudusan hanya berarti tanggapan atas
karya Allah itu, terutama dengan sikap iman dan pengharapan (lih. 1 Tim. 2:15).
Sikap itu dinyatakan dalam segala perbuatan dan kegiatan kehidupan yang serba
biasa. Kekudusan bukan soal bentuk kehidupan, melainkan sikap yang dinyatakan
dalam hidup sehari-hari.
2.7. Kekudusan Menurut Para Tokoh
2.7.1.
Luther
Mengenai
hidup kudus atau kekudusan, Luther menyatakan bahwa kekudusan (pengudusan) yang
diberikan kepada manusia merupakan tujuan utama penebusan dalam Yesus Kristus.
Kekudusan orang Kristen bukan hanya dinyatakan di dalam Yesus, tetapi juga
memiliki kekudusan di dalam dirinya sendiri, yang dikerjakan Roh Kudus. Itu
sebabnya perbuatan baik kita tidak diperhitungkan dalam pengudusan. Tuntutan
kekudusan bukan untuk “menyebabkan”, tetapi sebagai respon atas pengudusan
kita. Pekerjaan baik tidak membuat orang menjadi baik, tetapi orang baik
menghasilkan pekerjaan baik. Orang percaya melakukan pekerjaan baik tanpa
kecemasan, sebab itu lahir dari batiniahnya. Jadi motif yang lebih penting
dibandingkan dengan konsekuensi perbuatan.
2.7.2.
Calvin
Menurut
Calvin, bahwa perbuatan manusia yang paling baik sekalipun sudah dirusak oleh
dosa (Yoh. 15:3). Pengudusan kita harus terus menerus diperbaharui dengan
tuntunan Roh Kudus. Sebab walaupun kita sudah dikuduskan dan menjadi ciptaan
baru (Gal. 6:15), tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa kita juga orang berdosa.
Tabiat kedagingan itu masih sering mempengaruhi hidup orang percaya (bnd. 1 Kor.
13, Flp. 3:12), yang membuat manusia itu masih harus menuju kesempurnaan.
2.8. Tinjauan Dogmatis Terhadap Kekudusan dan
Relevansinya Terhadap Pemahaman Jemaat di Masa Kini
Dalam
Perjanjian Lama dan Baru sifat Allah yang paling khas adalah kekudusan-Nya.
Walaupun bangsa-bangsa dan tempat-tempat disebut kudus, tetapi hanyalah dalam
artian dikhususkan bagi Allah, karena hanya Allah yang kudus (bnd. Yes. 6).
Kekudusan itu berarti bahwa Dia betul-betul murni dalam sikap dan pikiran.
Orang Israel sebagai umat Allah yang harus menjadi bangsa yang kudus selaku
umat Allah dan hal ini harus nyata dalam hidup sehari-hari, dengan menjauhkan
diri dari segala kenajisan. Tahir berarti bersih dari segala dosa. Ketahiran
barulah berarti suci jika hati menggambarkan dan disertai oleh kesucian batin,
disertai oleh hati yang bersih dari dosa. Itulah sebabnya Allah memberikan
berbagai syarat-syarat yang harus diikuti oleh bangsa Israel, jika mereka
hendak hidup dalam persekutuan dengan Allah. Mereka juga dituntut untuk hidup
dalam ketahiran pada kehidupan sehari-hari, misalnya syarat ketahiran jika
terkena kepada mayat (bnd. Bil. 19), dalam persoalan makanan juga mereka diatur
(Bnd. Im. 11 dan Ul. 14:1-21). Alasan syarat-syarat ini diberikan dalam Im.
20:25, 26. Israel adalah umat Allah yang diasingkan dari bangsa-bangsa lain;
pengasingan ini harus nyata dari hal, bahwa bangsa Israel dalam segala hal
melakukan kemauan Allah, taat dan menurut kepada Allah.
Selanjuntnya, Israel yang suatu bangsa yang dikhususkan bagi Allah diantara
semua bangsa di bumi, gaya hidupnya dan sebenarnya karakternya harus menyatakan
kepada semua bangsa makna dari identitas dan misi Allah.
Sebagai
orang yang dikuduskan oleh Allah, secara tegas Allah mengatakan supaya setiap
orang harus menunjukkan bahwa dia adalah orang yang sudah dikuduskan. Harus
dinyatakan dalam setiap saat dengan menaati perintah yang diberikan-Nya. Jika
setiap saat umat-Nya menaati perkataan-Nya mereka akan aktif menguduskan
kehadiran Allah ditengah-tengah mereka. Allah akan menguduskan mereka dan umat
itu diberikan kepada Allah yang kudus. Sebagai umat yang menaati perintah
Tuhan, Israel harus bersikap seperti yang Allah lakukan, supaya layak dipanggil
sebagai umat yang kudus, demikianlah juga kita.
Bila
kita lihat pemilihan yang dilakukan Allah kepada imam, terlihat bahwa sebagai
seorang hamba yang khusus, imam harus
ditetapkan dan dikuduskan (Im. 8), diajar tentang cara perantaraan yang benar
untuk membawa kurban (Im. 9:1-10:7); untuk memahami jabatan dan pelayanannya
yang istimewa menuntut norma-norma untuk berkaitan dengan integritas dan
perilaku (10:8-15). Dengan perkataan lain, imam adalah orang yang kudus yang
melayani Allah yang kudus untuk kepentingan umat yang kudus.
Kekudusan
Allah menuntut supaya orang-orang Kristen mencerminkan sifat Allah dalam gaya
hidup. Dalam 1 Ptr. 1:14-16 “Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan jangan
turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu, tetapi hendaklah
kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang
telah memanggil kamu”. Allah menunutu
kekudusan menjadi tujuan para beriman. Paulus berkata, “Setiap orang
yang menyebut nama Tuhan hendaklah meninggalkan kejahatan” (II Tim. 2:19) dan
menurut Ibrani 12:10 Allah amat mendamkan kekudusan kita: Dia “menghajar” kita
“supaya kita beroleh bagian dalam kekudusan-Nya”.
Relevansi
terhadap pemahaman jemaat di masa kini,
bisa kita mulai melalui Imamat 20:29, kita bisa melihat bahwa arti dan makna
kekudusan adalah pemisahan dari hal-hal duniawi yang bertentangan dengan
kehendak Allah dan juga pengkhususan untuk menjadi milik Allah. Kita juga harus
melihat bahwa kekudusan merupakan milik Allah, merupakan sifat Allah. Sehingga
hanya Allah yang bisa menguduskan manusia. Pengudusan Allah merupakan inisiatif
Allah sendiri. Allah mengkomunikasikan kekudusan-Nya kepada umat manusia yang
bertujuan untuk menyelamatkan umat manusia. Allah yang menguduskan manusia juga
menuntut kekudusan umat-Nya melalui respon manusia sendiri untuk mengambil bagian
dalam kekudusan itu, seperti yang diungkapkan Luther bahwa Tuntutan kekudusan
bukan untuk “menyebabkan”, tetapi sebagai respon atas pengudusan. Manusia
dipanggil sekaligus bertanggung-jawab untuk hidup kudus, hidup menurut Firman,
menjadikan Firman itu hidup dalam kehidupan sehari-hari dengan ketaatan
(kesetiaan) secara menyeluruh. Tanggung jawab itu haruslah secara menyeluruh
atas keberadaan manusia itu sendiri, baik secara rohani maupun jasmani, baik
secara iman dan juga perbuatan. Kekudusan manusia harus nyata dalam
prinsip-prinsip hidup (tata hidup). Karakter dan perilaku manusia harus
mencerminkan karakter dan perilaku Allah (Im. 19-20). Allah adalah standar
kekudusan. Sehingga hidup kudus tidak lagi dipandang sebagai hal yang
normative, namun merukan bagian dari kehidupan sebagai respo kita terhadap
Allah yang kudus yang menguduskan umat-Nya.
Manusia
yang sudah dikuduskan oleh Allah bukan harus menjauhi orang-orang yang tidak
hidup dalam kekudusan (manusia berdosa). Bila itu terjadi, kita akan seperti
golongan Montanisme dan Donatisme yang menghendaki agar orang-orang berdosa
disingkirkan. Seperti yang diungkapkan Optatus bahwa kekudusan merupakan
karunia dari Allah dan kita harus mengingat ungkapan Augustinus yang menyatakan
bahwa kita bukan menjadi “pedang musuh yang melukai, melainkan pisau tabib yang
menyembuhkan tubuh”. Manusia tidak bisa mengungkung kekudusan tersebut.
Kekudusan bukan kesombongan kerohanian, sehingga seperti Boniface VIII yang
menyatakan bahwa dialah yang paling kudus. Allah yang kudus, menguduskan
umat-Nya bukan karena umat-Nya tidak berdosa. Sesungguhya semua manusia adalah
berdosa, namun melalui pengudusan ini, Allah menujukkan kemuliaan dan kasih-Nya
kepada manusia. Sehingga, umat yang telah dikuduskan oleh Allah, tidak menganggap
dirinya yang tidak berdosa, dan harus menjauhi orang yang berdosa.
Manusia
yang mengambil bagian dalam kekudusan juga harus menyadari bahwa melalui
kekudusan ini, Allah mengutus umat-Nya untuk menjadi umat-Nya yang kudus di
dunia yang penuh kecemaran. Melalui pengudusan, Allah juga mengutus kepada
manusia yang berdosa lainnya.
Ada misi yang diberikan kepada manusia yang merespon kekudusan dan menjadi
tanggung-jawab manusia untuk mengemban misi tersebut. Kekudusan kita bertujuan
untuk mengembangkan, menjaga dan menampilkan kekudusan tersebut. Kekudusan juga
berbicara pengutusan, dimana orang-orang yang sudah dikuduskan memiliki misi
pengutusan kepada semua umat manusia untuk menyatakan kemuliaan Allah
ditengah-tengah dunia.
III.
III. Kesimpulan
Melalui
pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa arti kekudusan adalah “dipisahkan”
dan “dikhususkan”. Kekudusan merupakan sifat dan milik Allah, sehingga hanya
Allah yang disebut kudus dan hanya Allah yang dapat menguduskan. Allah
mengkomunikasikan kekudusannya kepada umat manusia dan menuntut kekudusan umat.
Manusia memiliki tanggung jawab untuk menyatakan kekudusannya dalam
kehidupannya secara seutuhnya. Kekudusan manusia haruslah secara keseluruhan
(holistik), baik rohani maupun jasmani, baik iman maupun perbuatan. Kekudusan
manusia harus nyata dalam prinsip-prinsip hidup (tata hidup). Karakter dan
perilaku manusia harus mencerminkan karakter dan perilaku Allah (Im. 19-20).
Melalui pengudusan, Allah juga mengutus kepada manusia yang berdosa lainnya. Terdapat
misi yang harus menjadi tanggung jawab manusia yang dikuduskan dan yang
merespon kekudusan tersebut.
IV.
IV. Daftar
Pustaka